Secara administratif Situs Lai Tarung masuk ke dalam wilayah Makata Keri, Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Situs ini terletak di atas bukit yang berteras-teras yang tersusun dari batuan kapur. Lokasinya berada di teras utama/teras paling atas, sementara di bawahnya adalah kampung-kampung lain seperti Praimudi, Kabela Wuntu, Wai Kawolu, Makata Keri hingga Kabonduk. Situs Lai Tarung sekarang sudah tidak berpenghuni, hanya Praimudi, Kabela Wuntu, dan Wai Kawolu yang berada di teras bawah yang masih dihuni oleh beberapa keluarga. Situs Lai Tarung sudah ditinggalkan sama sekali oleh penduduknya yang turun lalu menyebar ke tempat lain membentuk kampung-kampung baru, seperti Galumema dan Kabonduk (Situs Lai Tarung IV).
Aksesibilitas menuju Lai Tarung tidak terlalu baik. Meskipun bisa dilalui oleh kendaraan bermotor, namun jalanannya masih berupa makadam. Untuk mencapai situs utama pengunjung harus memarkir kendaraannya di teras bawah, kemudian dilanjutkan berjalan kaki kurang dari satu kilo meter melewati jalanan yang menanjak dan berbatasan langsung dengan jurang terjal. Jalan menuju ke atas juga terasa licin karena jarang dilewati, terutama ketika musim hujan. Di teras paling atas terdapat fasilitas penunjang bagi pengunjung seperti toilet dan bale-bale untuk istirahat, namun kondisinya sudah rusak. Meski demikian, Situs Lai Tarung dan kampung-kampung di sekitarnya memiliki daya tarik berupa lanskap natural dan budaya yang eksotis terutama suasana lingkungan dan keberadaan kompleks kubur batu di sekitarnya. Menurut informasi dari juru pelihara situs, di Situs Lai Tarung kini masih terdapat gua yang menjadi tempat persembunyian Umbu Dangi Lodja untuk mengelabui musuhnya, namun apakah merupakan gua hunian atau gua biasa belum dapat dipastikan, sehingga jawaban ini masih memerlukan riset lebih lanjut.
Menurut cerita yang berkembang, penduduk Lai Tarung juga mengakui Tanjung Sasar (Haharu Malai Kataka Lindi Watu) sebagai tempat pertama nenek moyang mereka tiba di Sumba. Kala itu Sumba masih menjadi satu dengan puau-pulau di sekitarnya seperti Sumbawa dan Flores. Dari sana nenek mereka mulai menyebar ke berbagai tempat, hingga akhirnya membentuk kampung-kampung di Sumba. Lai Tarung merupakan sebuah situs permukiman yang kini sudah ditinggal oleh penduduknya menyebar ke tempat lain membentuk kampung-kampung baru di sekitarnya.
Sejarah Lai Tarung tidak terlepas dari keberadaan tokoh bernama Umbu Sebu dan Umbu Dangi Loja. Keduanya merupakan ayah dan anak. Sementara Umbu Sebu berkaitan dengan sejarah berdirinya kampung, Umbu Dangi Loja merupakan pencipta upacara Purungu Ta Kadonga Ratu. Sumber yang lain mengatakan bahwa nenek dari orang-orang Lai Tarung berhasil mengambil alih kampung dari pemilik sebelumnya lewat siasat dengan cara bersembunyi di suatu gua lalu meninggalkan harta bendanya agar seolah-olah ia telah tinggal dalam waktu lama di tempat tersebut. Singkat cerita, orang-orang dari suku yang semula menempati tempat tersebut menyingkir dari kampung karena mengira bahwa memang nenek orang-orang Lai Tarunglah pemilik kampung yang asli. Sekarang Lai Tarung telah menjadi situs yang dilindungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang dibagi menjadi Situs Lai Tarung I (mencakup Kampung Lai Tarung yang berada di teras utama), Situs Lai Tarung II (mencakup wilayah Kampung Wai Kawolu), Situs Lai Tarung III (mencakup wilayah Kampung Galumema dan sekitarnya), dan Situs Lai Tarung IV (mencakup wilayah Kampung Kabonduk).
Berdasarkan studi lapangan yang dilakukan, dapat diketahui bahwa di Situs Lai Tarung terdapat sejumlah tinggalan yang masuk ke dalam kategori fitur seperti uma dewa, uma bakul, dan kompleks kubur batu. Sedangkan tinggalan yang termasuk ke dalam kategori artefak adalah tinggalan-tinggalan berupa benda bergerak yang kini masih insitu seperti batu kilat/batu petir dan artefak-artefak lain yang kini disimpan di sekitar situs maupun di rumah-rumah besar yang ada di Kampung Praimudi berupa gong, tambur, dan sisa-sisa bagian atap berupa tanduk rumah.
Di zona inti Situs Lai Tarung sekarang sudah tidak ditemukan bangunan yang utuh lagi. Di sini hanya ada sisa-sisa dari suatu bangunan, yaitu berupa pilar-pilar batu besar tinggi menjulang dengan beberapa pilar kayu. Pada awalnya pilar-pilar ini merupakan bagian dari bangunan uma dewa (dapa daungu atau yang tak bertuan). Bangunan ini rubuh sekitar tahun 2018 setelah sempat dipugar oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Bali (sekarang Balai Pelestarian Kebudayaan).
Uma dewa merupakan salah satu bentuk arsitektur vernakular dengan material pembentuk bangunan berupa pilar-pilar batu dan tiang kayu yang hanya tinggal 12 buah. Empat di antaranya merupakan tiang utama untuk menopang bangunan kayu di atasnya. Di sekitar empat pilar utama terdapat enam pilar batu lainnya, sedangkan dua sisanya merupakan tiang kayu. Di sekitaran sisa-sisa bangunan uma dewa ada tinggalan-tinggalan lain berupa batu kilat, kubur batu dan sisa-sisa bangunan uma bakul.
Berbeda dengan uma dewa, uma bakul dibangun menggunakan material kayu sepenuhnya. Berdasakan pengamatan lapangan uma bakul memiliki 10 tiang tersisa, dengan dua di antaranya berada di tengah dikelilingi oleh delapan tiang lainnya. Tiang-tiang utama uma bakul menggunakan kayu mayela dengan orientasi bangunan menghadap ke arah barat.
Bagian atas pilar-pilar bangunan uma dewa dan uma bakul memiliki ragam hias dengan corak geometris kombinasi bentuk lonjong menyerupai palungan dan segitiga dalam bingkai berganda. Corak ini dibuat berulang mengelilingi pilar sehingga menunjukkan irama yang teratur ketika dilihat. Konstruksi yang ada memiliki keserasian dengan lingkungan alam sekitar karena material pembentuknya diambil dari bahan-bahan yang tersedia di alam. Kadang ketika mengunjungi kampung-kampung yang ada di Sumba kita akan merasakan ekstase, terangkat ke luar dan hanyut dalam keindahan lingkungan alam sekitar yang masih asri ditambah kicau burung, deru angin, suara-suara gesekan ranting pohon dikuatkan dengan tinggalan-tinggalan kubur batu yang menghantarkan kita masuk ke dalam gambaran-gambaran kearifan masyarakat masa lalu.